Untuk melaksanakan tugas, Singgih mendapat pinjaman beberapa perlengkapan dari markas Peta dijaga Monyet. Waktu itu yang piket di markas Peta adalah Latif Hendraningrat. Singgih disertai pengemudi, Sampun dan penembak mahir Sutrisno bersama Sukarni, Wikana, dan dr. Muwardi menuju ke rumah Moh.Hatta. Singgih secara singkat minta kesediaan Moh. Hatta untuk ikut ke luar kota. Moh. Hatta menuruti kehendak para pemuda itu. Rombongan kemudian menuju ke rumah Sukarno. Tiba di rumah Sukarno, Singgih meminta agar Sukarno ikut pergi ke luar kota saat itu juga. Sukarno setuju, asal Fatmawati, Guntur (waktu itu berusia sekitar delapan bulan) dan Moh. Hatta ikut serta. Tanggal 16 Agustus sekitar pukul 04.00 pagi rombongan Sukarno, Moh. Hatta, dan para pemuda menuju Rengasdengklok. Dipilih daerah Kawedanan Rengasdengklok, karena daerah itu terpencil yaitu 15 km dari Kedunggede, Karawang. Selain itu, juga ada hubungan baik antara Daidan Peta Purwakarta dan Daidan Jakarta, sehingga dari segi keamanan terjamin. Pagi hari rombongan Sukarno sampai di Rengasdengklok. Mereka diterima oleh Shodanco Subeno dan Affan. Mereka ditempatkan di rumah Kie Song yang simpati pada perjuangan bangsa Indonesia. Sehari di Rengasdengklok, ternyata gagal memaksa Sukarno untuk menyatakan kemerdekaan Indonesia lepas dari campur tangan Jepang. Namun, ada gelagat yang ditangkap oleh Singgih bahwa Sukarno bersedia memproklamasikan kemerdekaan Indonesia kalau sudah kembali ke Jakarta.
Jakarta berada dalam keadaan tegang karena tanggal 16 Agustus 1945 seharusnya diadakan pertemuan PPKI, tetapi Sukarno dan Moh. Hatta tidak ada di tempat. Ahmad Subarjo segera mencari kedua tokoh tersebut. Akhirnya setelah terjadi kesepakatan dengan Wikana, Ahmad Subarjo ditunjukkan dan diantarkan ke Rengasdengklok oleh Yusuf Kunto. Ahmad Subarjo tiba di Rengasdengklok pukul 17.30 WIB untuk menjemput Sukarno dan rombongan. Kecurigaan pun menyelimuti perasaan para pemuda yang bertemu dengan Ahmad Subarjo. Akhirnya Ahmad Subarjo memberikan jaminan. Apabila besok (tanggal 17 Agustus) paling lambat pukul 12.00, belum ada Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, taruhannya nyawa Ahmad Subarjo. Dengan jaminan itu, maka Shodanco Subeno mewakili para pemuda mengizinkan Ir. Sukarno, Drs. Moh. Hatta, dan rombongan kembali ke Jakarta. Petang itu juga Sukarno dan rombongan kembali ke Jakarta. Dengan demikian berakhirlah peristiwa Rengasdengklok. Rombongan Sukarno segera kembali ke rumah Laksamana Maeda di Jalan Imam Bonjol No. 1. Para tokohtokoh nasionalis berkumpul di rumah Maeda untuk merumuskan teks proklamasi. Di rumah Maeda, hadir para anggota PPKI, para pemimpin pemuda, para pemimpin pergerakan, dan beberapa anggota Chuo Sangi In yang ada di Jakarta. Mereka berjumlah 40 - 50 orang.
Rumah Laksamana Maeda itu dianggap aman dari kemungkinan gangguan yang sewenang-wenang dari anggota-anggota Rikugun (Angkatan Darat Jepang/Kampeitai) yang hendak menggagalkan usaha bangsa Indonesia untuk mengumumkan Proklamasi Kemerdekaannya. Oleh karena Laksamana Maeda adalah Kepala Perwakilan Kaigun, maka rumahnya merupakan extra-territorial, yang harus dihormati oleh Rikugun. Selain itu, Laksamana Maeda sendiri memiliki hubungan yang akrab dengan para pemimpin bangsa Indonesia, dan Maeda juga simpatik terhadap gerakan kemerdekaan Indonesia, maka rumah beliau direlakan menjadi tempat pertemuan para pemimpin bangsa Indonesia untuk berunding dan merumuskan naskah/teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Setelah tiba di Jl. Imam Bonjol No. 1, lalu Sukarno dan Moh. Hatta diantarkan Laksamana Maeda menemui Gunseikan Mayor Jenderal Hoichi Yamamoto (Kepala Pemerintahan Militer Jepang). Akan tetapi Gunseikan menolak menerima Sukarno-Hatta pada tengah malam. Dengan ditemani oleh Maeda, Shigetada Nishijima dan Tomegoro Yoshizumi serta Miyoshi sebagai penterjemah, mereka pergi menemui Somubuco Mayor Jenderal Otoshi Nishimura (Direktur/Kepala Departemen Umum Pemerintahan Militer Jepang), dengan maksud untuk menjajaki sikapnya terhadap pelaksanaan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.
Pada pertemuan tersebut tidak dicapai kata sepakat antara Sukarno-Hatta di satu pihak dengan Nishimura di lain pihak. Di satu pihak SukarnoHatta bertekad untuk melangsungkan rapat PPKI yang pada pagi hari tanggal 16 Agustus 1945 itu tidak jadi diadakan karena mereka dibawa ke Rengasdengklok. Mereka menekankan kepada Nishimura bahwa Jenderal Besar Terauchi telah menyerahkan pelaksanaan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia kepada PPKI. Di lain pihak Nishimura menegaskan garis kebijakan Panglima Tentara ke-XVI di Jawa, bahwa dengan menyerahnya Jepang kepada Sekutu berlaku ketentuan bahwa tentara Jepang tidak diperbolehkan lagi mengubah status quo. Berdasarkan garis kebijaksanaan itu, Nishimura melarang Sukarno-Hatta untuk mengadakan rapat PPKI dalam rangka pelaksanaan Proklamasi Kemerdekaan. Sampailah Sukarno-Hatta pada kesimpulan bahwa tidak ada gunanya lagi untuk membicarakan soal kemerdekaan Indonesia dengan pihak Jepang. Mereka hanya berharap pihak Jepang supaya tidak menghalanghalangi pelaksanaan Proklamasi oleh rakyat Indonesia sendiri.
Sumber : Hasil Olahan Berbagai Sumber
Unsri. 2015. Proklamasi. Dimuat dalam web elearning.unsri.ac.id. Diakses pada tanggal 13 Agustus 2018 pukul 22.30 WIB
Bsdpendidikan. 2013. Sejarah Dimuat dalam web sd.pendidikan.id Diakses pada tanggal 13-08-2018.pukul 23.40
Bsdpendidikan. 2013. Sejarah Dimuat dalam web sd.pendidikan.id Diakses pada tanggal 13-08-2018.pukul 23.40
KABINET BER-AKSI
-Bidang Multimedia & Publikasi dan Bidang Kemahasiswaan HMTPL-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar